Thursday, March 23, 2017

Sejarah Gedung Setan Surabaya: Berawal dari Restoran Di Surabaya Kerusuhan Rasial

Siapa warga Surabaya yang tak mengenal Gedung Setan? Gedung sepuh itu masih berdiri megah di Jalan Banyu Urip Wetan 1A nomor 107, Surabaya. Penampakanya tampak lusuh layaknya gedung-gedung tua yang menyimpan banyak sejarah. Begitu pula Gedung Setan. Dia menyimpan banyak kenangan yang menjadi bagian dari Kota Surabaya.

Ketua Pengurus Gedung Setan Sutikno Djijanto kepada Jawa Pos menceritkan, bahwa gedung itu dibangun J.A. van Middlekoop pada 1809. Lalu, gedung tersebut dibeli dr Teng Khoen Gwan (Gunawan Sasmita) sekitar 1945. Setelah itu, ada kerusuhan rasial pada 1948.

''Kejadian itu membuat banyak warga Tionghoa mengungsi. Ya salah satu tempatnya di sini,'' jelasnya.

Awalnya jumlah restoran di Surabaya penghuni hanya 25 keluarga. Kini yang tinggal di situ sudah 53 keluarga. Mulanya memang warga Tionghoa semua. Namun, kini mereka sudah bercampur baur dan berkawin-mawin. ''Anak-anaknya yang terlihat sekarang campuran. Ya ada yang Jawa, ada pula keturunan Tionghoa-Madura. Beragam,'' ungkapnya.

Namun, ada satu hal yang tak berubah. Mereka memiliki ikatan persaudaraan yang kuat. Aliran darah keluarga senasib sepenanggungan dari pengungsi. Kerukunan terjalin kuat. ''Tidak pernah berebut apa pun. Kami tinggal di sini ya rukun-rukun saja,'' ujarnya.

Salah satunya saat perayaan Tahun Baru Imlek. Suasana meriah pasti terlihat dalam gedung. Setiap rumah berhias dengan pernak-pernik ala Imlek. Dominasi warna merah pun mencuat seketika.

Anak-anak kecil juga berkeliling dari satu rumah ke rumah lain untuk meminta angpao. ''Kami makan sama-sama. Ya, semuanya pusat kegiatan di gereja lantai atas,'' ujar pria kelahiran Surabaya, 4 Februari 1957, tersebut.

Bukan hanya itu. Mereka juga biasa saling berbagi. Termasuk kamar mandi. Gedung itu hanya memiliki empat kamar mandi umum dan dapur di bagian belakang lantai 1. Karena itu, sering terlihat antrean kamar mandi. Terutama saat pagi. Ketika penghuni akan berangkat kerja dan sekolah.

Untuk listrik, mereka patungan. Per bulan, setiap keluarga membayar Rp 15 ribu. Uang itu digunakan untuk membayar iuran kematian (Rp 3 ribu), PBB (Rp 7 ribu), dan perbaikan (Rp 5 ribu).